PULAU Alor
seperti persinggahan sebelum memasuki surga taman bawah laut yang
dipuja-puji para penyelam. Persinggahan yang terbingkai sempurna dalam
siraman sinar matahari tumpah-ruah dan bentangan laut biru
berkilau-kilau.
Namun, pagi itu kami tak lagi melongok ke dalam surga di bawah laut, melainkan menyusuri persinggahannya yang tak kalah memikat. ”Kita ke pantai yang sepi saja, di Batu Putih,” ajak Elfrado Juan (35), warga Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor.
Dengan berkendara sepeda motor, kami lalu menuju ke pantai yang konon masih jarang dijajaki turis itu. Bersepeda motor ke Batu Putih merupakan pilihan paling fleksibel mengingat sebagian medan jalan yang dilalui rupanya kecil, naik turun membelah bukit di bibir pegunungan.
Pantai Batu Putih di Kecamatan Kabola, dapat ditempuh searah dengan jalan menuju ke Bandar Udara Mali. Bandar udara itu menjadi akses krusial gerbang masuk Pulau Alor. Turis biasanya singgah di Bandara El Tari di Kupang sebelum melanjutkan 45 menit penerbangan menuju Alor. Turis yang datang di Alor selama ini dapat dipastikan didominasi para penyelam.
Sepanjang jalan, Juan, pemuda asli Alor, ini juga bercerita tentang berbagai pohon dan tanaman yang ditemui sepanjang perjalanan. Pohon kenari yang banyak tumbuh–hingga Kota Kalabahi pun dijuluki Kota Kenari–pohon asam, lamtoro, kapuk, juga pohon aren penghasil minuman tuak yang disebut penduduk setempat sebagai sopi. Tanaman yang disebut kolam susu pun terlihat banyak tumbuh liar di tepian jalan. Dedaunan kolam susu itulah yang kerap digunakan para perajin tenun di Alor untuk racikan perendam benang agar seratnya kuat menyerap pewarna.
Di desa-desa di Alor juga mudah ditemui anak-anak yang bermain sepak bola di lapangan sepanjang hari. Apalagi sejak kiprah Yabes Roni Malaifani, pemain sepak bola dalam tim nasional Indonesia U-19, yang berhasil mencetak gol kemenangan di menit-menit terakhir dalam pertandingan melawan Filipina, Oktober 2013 lalu. ”Sejak itu demam main bola sepak makin menjadi-jadi di Alor,” cerita Juan.
Setelah sekitar dua jam perjalanan, pantai sepi itu mulai tampak dari ketinggian sebuah bukit. Garis pantai yang panjang melengkung cantik berwarna putih berkilauan. Memang, dari kejauhan tak tampak titik-titik bayangan sosok manusia di hamparan pantai itu. Hanya pantai berpasir putih, bersih tanpa turis. Tak sabar rasanya ingin segera meluncur ke bawah.
”Dulu pernah ada rencana kawasan ini akan dibuka resor, tapi belum ada tanda-tanda terwujud,” kata Juan.
Pulau Kepa
Salah satu persinggahan yang juga menarik di Alor adalah Pulau Kepa, yang dapat ditempuh dengan perahu kecil dari dermaga di Alor Kecil selama sekitar 10 menit saja. Pulau mungil seluas 32 kilometer persegi ini dikelola sepasang suami istri berkewarganegaraan Perancis, Cédric Lechat dan Anne Lechat.
Pasangan itu mulai jatuh cinta pada Alor sejak kunjungan di tahun 1990-an. Akhirnya, di tahun 1998, mereka tinggal dan membuka resor satu-satunya di pulau itu, La P’tite Kepa.
Cédric sendiri adalah seorang penyelam bersertifikat yang menjadi operator aktivitas penyelaman di perairan Alor. Oleh karena itu, mayoritas turis yang menginap di La P’tite Kepa adalah para penyelam. ”Tapi resor ini tutup setiap akhir tahun hingga bulan Maret. Kami pulang ke Perancis,” kata Anne, ibu beranak dua.
Sore itu waktu bagi Anne untuk membimbing belajar kedua anak perempuannya, Lila dan Anouk. Bersama kedua orangtuanya, kedua anak itu menjalani kehidupan di pulau sunyi dan bersekolah secara homeschooling. Di tengah pulau, keluarga Cédric tinggal dalam pondok yang begitu cantik beratapkan ilalang kering, mengingatkan pada cerita petualangan karya Enid Blyton.
Menurut Juan, dahulu Kepa adalah pulau tak berpenghuni yang kerap menjadi tempat untuk mempersembahkan sesajen dan bersembahyang bagi masyarakat penganut kepercayaan leluhur. Legenda yang dipercayai masyarakat setempat menyebutkan, di pulau itu pernah hidup seekor naga, yang menurut Juan boleh jadi sebenarnya adalah ular yang berukuran sangat besar. Tak heran, dalam ragam tenun asal Alor pun ditemui motif naga serupa ular.
Kendati tiada pantai berpasir putih yang cukup luas seperti di Batu Putih, kita dapat menikmati Kepa yang sunyi dengan berleha-leha di ayunan kain(hammock) yang terpasang di setiap bale-bale bungalo.
Menikmati buaian semilir angin laut dalam ayunan kain seperti itu, rasanya memang tak perlu apa-apa lagi dalam hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar